SariAgri - Musibah pandemi Covid-19 saat ini, tak menghalangi puluhan petani kopi di Desa Selasari, Kecamatan Parigi, Ka


Meskipun pasar dalam negeri tengah lesu, namun pemberlakuan pembatasan sosial berskala mikro yang diterapkan pemerintah, memberikan angin segar bagi mereka untuk bangkit terutama saat pandemi Covid-19.
Bahkan asa mereka menjadi pendatang baru di ancang kopi nasional jenis Arabika, begitu kencang saat melihat respon pasar yang begitu positif terhadap aroma khas kopi Arabika Pangandaran tersebut.
Meskipun masih terdengar asing di mata wisatawan dalam negeri, potensi kopi arabika Kabupaten Pangandaran, ternyata cukup menjanjikan.
Salah satu pengrajin Kopi 'Bueuk' Pangandaran Tarli Sutarli mengatakan, hingga 2018 lalu, Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat belum mengakui adanya varietas kopi arabika Pangandaran.
Namun perlahan pasti, munculnya beberapa produk kopi Pangandaran hasil UMKM warga dalam beberapaacara promosi di Jawa Barat, mampu meyakinkan keberadaan kopi asal kota 'Hawaii Van Jabar' tersebut.
"Kopi bueuk justru muncul setelah generasi kopi Pangandaran, kopi Srikandi, dan kopi Wak Eli mulai dikenal publik," ujarnya, beberapa waktu lalu.
Menggunakan istilah 'Bueuk' atau budayakeun eueut kopi (budayakan minum kopi), penggunaan istilah bueuk atau burung hantu, memang diharapkan mampu membangkitkan geliat kopi di Pangandaran.
"Dan bueuk (burung hantu) gak pernah makan kopi hijau selalu makan kopi ceri, ujarnya sedikit bercanda.
Tarli menyatakan, perkembangan kopi Pangandaran terus menunjukan geliat menjanjikan, jika awalnya hanya puluhan hektar dengan produksi masih di bawah 100 ton per tahun yang berhasil terdeteksi,
Kini berangsur membaik dengan produksi ceri kopi mencapai 250 ton dari lahan tanam sekitar 330 hektar, yang ditemukan di tujuh kecamatan yang ada di Pangandaran.
"Kami temukan tanaman kopi di Langkaplancar, Parigi, Cigugur, Sidamulih, Pangandaran, Kalipucang, Padaherang," papar dia.
Tarli mengaku petani masyarakat Pangandaran untuk mengembangkan kopi terbilang tinggi, namun lahan yang digunakan masih dibawah kepemilikan Perhutani. "Saat ini sekitar 98 persen kopi arabika, sisanya 2 persen hanya robusta," kata dia.
Saat ini harga green bean kopi Pangandaran dijual 50 ribu per kilogram, sementara kopi asalan (campur) dijual Rp18 ribu per kilogram. "Untuk yang kemasan ukuran 200 gram kami jual Rp40 ribu, sementara yang ukuran 250 kami jual Rp25 ribu," papar dia.
Sementara pasar terbesar kopi Pangandaran masih diserap wilayah Banjarsari, Rajadesa dan Tasikmalaya. "Alhamdulillah sejak 2018 lalu, kami mulai diajak iku pameran baik lokal maupun nasional," ujarnya.
Tarli menyatakan, salah satu ciri khas rasa kopi Pangandaran terletak pada aromanya kopinya yang tercium gula aren. "Kebetulan di sini banyak pohon aren yang berdampingan dengan pohon kopi," kata dia.
Bahkan untuk rasa wine, kopi Pangandaran kerap memunculkan rasa duren. "Tapi mungkin soal ukuran rasa kami kembalikan lagi kepada konsumen," ujarnya.
Tarli menyatakan, salah satu kendala yang dihadapi dalam pengembangan kopi Pangandaran merek 'Bueuk' yang dia kelola, masih belum terkonsentrasinya proses produksi dan pengemasan produk dalam satu titik.
"Saya akui hingga kini belum satu atap, kadang pengemasan di sini, produksi di lokasi lain, semoga Bank Indonesia bisa memperhatikan ini," ujarnya berharap.
Namun meskipun, ibarat pepatah berakit ke hulu berenang ke tepian, kerja kerasanya selama ini dalam mengenalkan kopi arabika Pangandaran, mulai berbuah manis, terutama respon positif pasar. Bahkan kondisi pandemi Covid-19 saat ini, tak menghalanginya untuk tetap berekspansi.
Perikanan Video terkait: